Heirloom Pain
Untuk sepersekian detik bisa aku pakai kepalaku yang hampir sepenuhnya mengeras ini untuk mengira; mungkin saja kali ini seluruh asmaraloka ada dipihak kita, mungkin saja luluh lantak yang pernah kita arungi bak cangkang kerang kosong yang diombang ambing sang ombak ini mulai menemui benah-nya. Lantas aku bisa apa kalau sepasang mata sayu berbinar semu itu memanggilku keras keras; suruh aku mendekat, suruh aku iyakan apapun yang sudah mulai rekat.
“Kita coba ya, kita coba. Kita musuhi dunia ya, bersama. Kita bisa, aku percaya.” Fabel bodoh, sialnya aku terkecoh.
Kudengar alam raya tergelak karenanya.
Kalau disuruh kembali ke masa lalu, aku pilih buat diamkan dirimu yang berdiri tegak berlumuran darah di ujung perapian panas sana, daripada harus aku kasih makan rasa kesepian tak berkesudahan mu itu. Kubasuh lukamu, kurawat dengan sebenar benarnya, namun aku dapat apa? tak hanya dusta, namun bilah tajam tembus relungku yang hampir habis tak tersisa.
Si dungu itu tak juga belajar dari masalalu, kata mereka.
Bukannya kita berdua yang sepakat punggungi dunia? Bukannya kita berdua yang sebut sumpah serapah sebegitu banyaknya tertuju pada semesta? Lalu kenapa hanya aku yang dibuat sengsara?
Aku dikutuk buat ingat semuanya.
Tuan, kutukanmu apa?